Skip to main content
BARU 8 Hari Masuk Sekolah, Anak SD Rambutnya Dipotong Berantakan oleh Guru, Ibu: Jangan Kamu Ingat

BARU 8 Hari Masuk Sekolah, Anak SD Rambutnya Dipotong Berantakan oleh Guru, Ibu: Jangan Kamu Ingat

BARU 8 Hari Masuk Sekolah, Anak SD Rambutnya Dipotong Berantakan oleh Guru, Ibu: Jangan Kamu Ingat

Baru-baru ini viral video anak SD disebut trauma karena rambutnya dipotong gurunya di sekolah.

Sebelumnya, video ini diunggah oleh sang ibu di akun TikTok @reva.juliany pada Minggu (7/8/2022) lalu.

Video ini lantas viral dan mengundang berbagai macam komentar dari netizen.

@reva.juliany

😭😭😭

♬ suara asli - MOMPRENEUR

Dikonfirmasi Kompas.com pada Senin (8/8/2022), pengunggah menceritakan, anaknya baru masuk sekolah SD selama delapan hari.

Rambutnya dipotong guru di sekolah

Namun, pada Rabu (3/8/2022), anaknya yang biasa pulang pukul 15.00 tiba-tiba kembali lebih awal, tepatnya pada pukul 12.30.

Tak hanya lebih cepat, anak juga kembali dalam keadaan sakit dan rambut berantakan.

"Anak pulang dalam keadaan demam. Saya tanya 'Adek kenapa udah pulang', katanya 'Adek sakit mama'. Udah gitu saya lihat rambutnya udah berantakan," terang pengunggah saat dikonfirmasi.

Halaman Selanjutnya

Sang ibu lalu bertanya mengapa rambutnya terlihat berantakan, si anak menjawab bahwa rambutnya telah dipotong oleh gurunya di sekolah.

"Terus anak demam selama 3 hari. Sekarang udah mendingan, dan udah dapat sekolah baru," kata pengunggah.

Anak mengalami demam dan trauma

Ibu anak tersebut marah sebab menurutnya guru di sekolah tak mengonfirmasi terlebih dahulu saat akan memendekkan rambut si anak.

Hingga akibatnya, sang anak pun harus mengalami demam dan trauma.

"Iya tanpa konfirmasi. Kalaupun harus dipotong kenapa nggak panggil tukang potong dirapihin," ujar pengunggah.

Hingga Senin (8/8/2022) malam, video viral ini telah ditonton lebih dari 5 juta kali dan disukai oleh lebih dari 200.000 pengguna TikTok.

Respons warganet

Unggahan tersebut mendapat banyak komentar dan respons dari warganet di TikTok. 

Salah satunya dari seseorang yang mengaku sebagai guru.

Menurutnya sebelum memotong rambut murid, perlu didahului dengan peringatan. 

"Sy jg seorang guru. biasanya anak2 sy ingatkn tiap hari smpe seminggu lmanya, kl g potong juga ortu nya q tlp, g potong jg br panggil tukang potong," ujar warganet. 

Warganet lain mengatakan bahwa rambut anak tersebut belum terlalu panjang jika melihat dari slide foto di bagian akhir. 

"Foto terakhir menunjukkan rambut aslinya sebelum dipotong. aku pikir itu masih wajar. gak gondrong2 bgt. astaghfirullah.. Kuat ya bunda. klo aq mending pindah sekolah. takutnya trauma anaknya. peluk dr jauh bunda..," ungkap komentar lainnya. 

"sy guru, kalau meringatkan juga dengan ortunya, tapi alangkah baiknya anak dipotong dlu sebelum sekolh.karena memang ada aturanya bun," tulis salah satu komentar. 

"disini memang gurunya Salah, tapi tidak 100 persen sebab, seharusnya orang tua, tau bahwa Anak TK/SD rambut Tidak Gondrong, Dan seharusnya lebih bijak," kata warganet. 

Terkait kejadian tersebut, apakah tindakan memotong rambut anak oleh guru berdampak pada kesehatan dan psikologis anak?

Penjelasan psikolog

Psikolog dari Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Christin Wibhowo mengatakan, anak memiliki perasaan dan dunia yang berbeda dari orang dewasa.

Dengan kata lain, anak bukan gambaran orang dewasa dalam bentuk mini.

"Jadi tidak usah kita mengatakan anak ini pasti trauma. Karena anak memiliki pandangan dan perasaannya sendiri," jelas Christin saat dihubungi Kompas.com, Senin (8/8/2022).

Christin melanjutkan, saat rambut dipotong tanpa kemauan, si anak pasti akan merasa sedih.

Namun, apakah rasa sedih yang dialami anak adalah sungguhan dan akan menjadi trauma, menurutnya belum tentu.

"Anak itu berbeda dengan kita. Anak itu mudah memaafkan sebetulnya," ungkap dia.

Justru, lanjut tidaknya kesedihan si anak akan bergantung pada perasaan dan pandangan dari orangtuanya.

"Orangtuanya pasti sedih, tapi kalau setelah itu move on, anak juga akan begitu. Jadi tergantung banget sama orangtuanya," kata Christin.

Oleh karena itu, agar si anak tak menjadi trauma dan mengalami sedih berkepanjangan, orangtua harus terlebih dahulu move on atau melupakan kejadian yang telah berlalu.

"Mungkin perasaan anak sedih, tapi hanya sekejap saja sedihnya. Bagaimana perasaan anak selanjutnya, sangat dipengaruhi orangtua," tutur Christin.

Libatkan perasaan anak

Di sisi lain, Christin mengatakan, saat akan mengarahkan perilaku anak, orang dewasa haruslah tetap mengikutsertakan atau melibatkan perasaan anak.

Dengan demikian, maka hasilnya akan stabil dan anak bisa memiliki perilaku seperti yang diharapkan.

Christin mengumpamakan pengarahan perilaku anak dengan rumus perkalian.

Saat tanda yang sama dikalikan, maka hasilnya akan menjadi plus atau positif.

Sebaliknya, jika angka dengan perbedaan tanda dikalikan, maka hasilnya negatif atau minus.

"Tanda plus dengan plus itu sama dengan plus. Tapi kalau tandanya beda (min dengan plus), maka hasilnya min," paparnya.

Lebih lanjut, tanda pertama merupakan perilaku atau sikap anak yang diharapkan.

Sedangkan tanda kedua, adalah perasaan anak. Misalnya, rambut anak yang rapi adalah sebuah tanda positif.

Maka, arahkan agar anak memiliki perasaan positif pula.

"Kita sampaikan ke anak bahwa bagus loh kalau rambutnya seperti ini kamu senang nggak, diberi contoh seperti Kak siapa misalnya," kata Christin.

Saat anak menjawab dirinya senang memiliki rambut seperti yang diarahkan tadi, barulah orang dewasa memendekkan rambut anak.

"Jadi plus pertama itu rambut rapi dan tanda plus kedua yaitu perasaan anak senang.

Pasti akan membuat anak memiliki perilaku seperti yang kita harapkan," ujar dia.

Ilustrasi berikutnya, jika kedua tanda minus atau negatif.

Christin mencontohkan, anak ditanya apakah senang jika rambut tidak rapi.

Rambut tidak rapi adalah perilaku minus atau negatif. Saat anak menjawab tidak senang yang mana juga kalimat negatif, maka hasilnya adalah positif.

"Kita tanya ke anak, kalau rambut tidak rapi kamu senang nggak? Maka rambut tidak rapi min, dikali perasaan anak nggak senang. Maka hasilnya plus juga," papar Christin.

"Coba sekarang yang tandanya beda. Rambut rapi itu plus, tapi anak nggak senang, nggak tahu kenapa harus dipotong, nangis waktu dipotong, atau min. Maka rambut rapi itu plus, perasaan anak min, hasilnya akan min," imbuhnya.

Hasil akhir yang negatif atau minus itulah, menurut Christin, berpotensi menyebabkan anak trauma.

Meski demikian, ia menekankan, anak tidak akan trauma asal orangtua mau move on.

"Jadi intinya dalam mengarahkan perilaku anak harus menggunakan konsep dan hasilnya harus plus. Artinya, libatkan perasaan," ujar Christin.

Ia menambahkan, jika permasalahan serupa kembali terjadi di kemudian hari, orang tua harus melakukan pertemuan dan berbicara empat mata dengan guru.

"Jadi menurut saya kalau ada permasalahan seperti ini, sampaikan ke yang bersangkutan yaitu guru dan bicarakan empat mata," sarannya.

"Semoga dengan ini, maka anak menjadi lebih bahagia, orang tua dan guru juga menjadi lebih bijak," tambah Christin.

Halaman Awal